Kapankah terakhir kali kita berolah raga? Tadi pagi, seminggu lalu, sebulan lalu, ataukah tahun lalu ketika lomba tujuh belasanJ? Ketika saya diajak ikut bermain voli dalam rangka menyambut Milad UII (meskipun akhirnya tidak jadi karena permainan saya terlalu “parah”), saya sangat sedih ketika menyadari bahwa ternyata saya terakhir kali bermain voli sekitar 10 tahun yang lalu, yaitu ketika pelajaran olah raga di SMU! Namun demikian, saya masih sangat bersyukur karena terakhir kali saya terakhir berolah raga bukan 10 tahun yang lalu, melainkan tadi pagi, karena saya selalu menyempatkan diri untuk bersenam, baik di aerobic/fitness center maupun di rumah, baik sambil menggendong anak sekalipun.
Jika kita jarang atau bahkan tidak pernah berolah raga, kini saatnya untuk mulai melirik kepadanya dan bergerak menuju olah raga yang Anda suka. Mengapa? Karena saat ini berbagai penelitian telah banyak ditemukan mengenai khasiat mujarab dari olah raga. Terlebih, tak hanya bagi tubuh, olah raga juga merupakan aktivitas yang bergizi bagi status psikologis (jiwa), dan juga hubungan sosial kita.
Bagi tubuh, olah raga merupakan salah satu bagian dari gaya hidup anti penuaan. Artinya, jika kita rajin berolah raga, usia biologis kita (usia tubuh saat ini) tidak akan lebih tua, atau bahkan menjadi jauh lebih muda dari usia kronologis Anda (umur sekarang dikurangi tahun lahir). Olah raga juga akan meningkatkan kapasitas paru-paru Anda, membuat jantung bekerja dengan lebih baik (hal ini membereikan efek pada sistem pembuluh darah), meningkatkan HDL, menangkal radikal bebas, meningkatkan uptake oksigen ke dalam sel, dan lain-lain.
Bagi jiwa, olah raga juga memberikan efek yang positif. Selain mengalami hiperventilasi (kita jadi terengah-engah) dan hipersekresi (berkeringat banyak), pada tingkatan tertentu kita juga akan mengeluarkan semacam morfin yang diproduksi secara alami oleh tubuh, yang biasa dikenal dengan endogen morfin atau endorfin. Hasilnya, akan timbul perasaan senang, tenang, dan bahagia.
Sebagai manusia, kita tidak lepas dari masalah. Sedikit banyak olah raga juga bisa membantu seseorang berlepas dari, atau melepaskan masalah yang sedang dihadapinya. Salah seorang dokter dosen saya dahulu, misalnya, mengatakan bahwa setelah bermain badminton, ia merasa sangat puas dan rileks. Karena ketika mengayunkan raket, yang ia bayangkan untuk ia “tamplek” bukan bola, melainkan istri yang hari itu mungkin sedang memarahinyaJ, atasan atau rekan kerja yang sedang bermasalah dengannya, dll. Jadi, kita keluar dari ruangan olah raga dengan perasaan lepas dari beban masalah.
Dalam sebuah majalah online di Amerika, terdapat pula tulisan berjudul “Rahasia Lelaki yang Tidak Diketahui Wanita”, yang didalamnya dikatakan bahwa olah raga atau aktivitas hobi lain yang dilakukan suami, secara sadar atau tidak sadar bisa juga dimaksudkan untuk sejenak berlepas dari tetek bengek rumah tangga (istri dan anak-anaknya). Entah benar atau tidak menurut para laki-lakiJ. Yang jelas saya sendiri sebagai perempuan yang merasa sangat repot bekerja sambil mengasuh bayi, merasakan kesenangan yang amat sangat ketika bisa “cuti” dari pekerjaan dan anak selama 1 jam melakukan senam aerobic, dan juga karena olah raga membantu memberi saya waktu untuk mencintai diri saya sendiri.
Manfaat psikologis lainnya juga bisa didapatkan dari olah raga yang bersifat kompetisi adalah kepuasan ketika menang. Kemenangan memberikan perasaan mampu, mengatakan pada diri kita bahwa kitalah yang terbaik, dan itu juga merupakan vitamin bagi jiwa kita. Sama halnya dengan mengapa Teka teki silang menjadi begitu digemari, bahkan dalam Oprah dikatakan bahwa Bill Clinton juga sangat menyukai mengisi TTS di surat kabar. Jawabnya adalah karena ada kepuasan tersendiri setelah berfikir keras dan akhirnya kita berhasil menemukan jawabannya. Sebuah perasaan “Yes!”. Demi mengejar keasyikan bermain dan memenangkan permainan olah raga, seorang rekan saya, profesor termuda UGM yang gemar bermain tenis, bahkan menjanjikan hadiah uang 50.000 bagi lawan yang bisa mengalahkannya.
Selain untuk tubuh dan jiwa, olah raga juga memberi manfaat bagi kehidupan sosial kita. Tentu saja karena dalam berolah raga kita akan bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain. Bahkan, olah raga jalan kaki sekalipun, kita juga bisa bertemu dan beramah tamah dengan orang lain. Seorang teman saya, padahal ia seorang dokter, rela menjadi pemungut bola tenis demi mendapat perhatian dan kesempatan untuk mendekati seorang penting yang ia ketahui memiliki hobi bermain tenis.
Namun, sebenarnya, semua tergantung pada diri kita juga apakah akan memanfaatkan kesempatan bersilaturahim (menjalin hubungan kasih sayang) dengan orang lain atau akan melewatkannya begitu saja. Banyak juga peserta fitness center yang saya lihat datang, senam, lalu pulang tanpa menyapa siapapun. Namun, saya bersyukur karena setidaknya saya mengenal minimal 1 orang baru setiap harinya dan akhirnya mendapat banyak manfaat dari mereka dari tukar pengalaman dan obrolan yang tidak bersifat sia-sia. Selain memperpanjang umur, jaringan persaudaraan yang kita bangun akan memberikan feedback yang positif kepada kita, meskipun tidak sekarang. Karena saya percaya bahwa hidup dan hubungan sosial itu seperti menabung. Semakin banyak kita menabung, nanti kita akan menuainya sendiri, meskipun tidak kita duga. Efek sosial ini pulalah yang membuat lomba-lomba olah raga menjadi bagian yang menyemarakkan kegiatan-kegiatan besar seperti tujuh belasan, milad/ulang tahun organisasi atau institusi, dan lain-lain. Kecuali kita berolah raga sendiri di dalam rumah atau diruang tertutup, maka kita akan mendapatkan manfaat sosial dari olah raga ini. Jadi, sudah siap untuk berolah raga? Jika jawaban kita seperti ibu-ibu jamaah pengajian saya, “Ah saya kan sudah mencuci, berjualan di pasar, bekerja macem-macem, dll, itu kan olah raga juga!”. Saya katakan itu salah, karena itu tidak bisa dipersamakan dengan olah raga. Jika jawaban kita adalah “Saya tidak sempat, sangat sibuk, dll”, maka saya setuju pada ungkapan yang ditulis dalam sebuah buku karya Kathy Peel “Manajer Keluarga”, yaitu bahwa “olah raga bukan masalah sempat atau tidak sempat. Tapi masalah mau atau tidak mau.” Jadi, mengapa tidak mulai membuat prioritas waktu dan mulai berolah raga sekarang (Yogyakarta, 20 Juni 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar