Selasa, 29 Januari 2013

Teh dan Madu Bakal Gantikan Antibiotik?


Fenomena resistensi kuman terhadap antibiotik yang kian mengkhawatirkan kembali disuarakan para pakar kesehatan. Resep pengobatan tradisional seperti teh dan madu dipersiapkan sebagai salah satu solusi alternatif dalam mengatasi kuman yang semakin kebal terhadap obat-obatan.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan berulang-ulang merupakan penyebab terbesar suatu jenis bakteri menjadi resisten terhadap obat. Pakar kedokteran menyebut fenomena yang mengkhawatirkan ini dengan istilah “arms race”.

Ketidakmampuan suatu obat antiobiotik mengatasi bakteri kini menjadi momok setelah ditemukannya antibiotik pada tahun 1940-an. Kehadiran antibiotik sempat menjadi solusi yang efektif dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun ketika bakteri sudah menjadi resisten terhadapnya, dibutuhkan alternatif lain yang dapat membuat pengobatan menjadi kembali efektif.

Prof. Les Baillie, dari Cardiff University Inggris menyatakan, bukan mustahil dunia akan kembali ke suatu masa dimana belum ditemukan antibiotik, sehingga pengobatan sejenis penyakit menjadi permasalahan besar.

Oleh karenanya, para ilmuwan  kini sedang mengupayakan membuat suatu sulosi alternatif  ketika bakteri sudah menjadi resisten terhadap antibiotik. Baillie  saat ini mengetuai tim riset untuk mencari tahu apakah obat kuno seperti teh dan madu dapat menjadi cara berikutnya sebagai obat yang paling efektif mengobati penyakit.

Teh diketahui mengandung suatu senyawa yang dinamakan polifenol yang memiliki kemampuan membunuh mikroorganisme.

Tim peneliti yang dipimpin Baillie telah menemukan, teh mampu untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh Clostridium difficile, bakteri yang bertanggung jawab untuk setidaknya 2.000 orang tewas dan lebih dari 24.000 kasus infeksi tahun lalu.

Rhidian Morgan-Jones, seorang ahli bedah dari Cardiff, mengatakan bahwa ada kekhawatiran nyata tentang masa depan dunia kedokteran saat antibiotik tidak lagi dapat digunakan.

Prof. David Livermore, dari Badan Perlindungan Kesehatan Inggris, bulan lalu memberi peringatan, operasi besar dan penanganan kanker akan menjadi lebih berbahaya lagi. Penggunaan antibiotik kemungkinan hanya akan bisa dilakukan untuk 10 tahun ke depan.

Perkembangan dunia kedokteran modern seperti perawatan intensif dan transplantasi organ akan berada di bawah ancaman tanpa antiobiotik. Oleh karenanya, segera dibutuhkan pengganti antibiotik.

Minggu, 27 Januari 2013

REFERAT DEMAM TYPOID

BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.3,4,5

2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.1,4

2.3 Patogenesis
Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.1,4

2,4 Gejala Klinis
Masa inkubasi Demam tifoid 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala timbul secara tiba-tiba atau berangsur angsur. Penderita demam tifoid merasa cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh. Pada minggu pertama demam (suhu berkisar 39-400C), nyeri kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu kedua demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran.
Pada umumnya demam berangsur-angsur naik selama minggu pertama, demam terutama pada sore hari dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi, kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian menjadi obstipasi.1,4

2.5 Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 pertama setelah terinfeksi.6
Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.7,8
Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella8.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Pada beberapa kasus yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang serta daya tahan tubuh. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia.3,6,8,9

2.6  Penatalaksanaan
            Management atau penatalaksanaan secara umum meliputi managemen medikamentosa, managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu: 7
1.      Managemen Medikamentosa
  1. Etiologik 10
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
·         Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun. Pada keadaan malnutrisi atau penyulit lain diberikan hingga 21 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol
·         Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari. Namun efeknya lebih rendah dibandingkan kloramfenikol
·         Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari. Efeknya setara dengan kloramfenikol namun efek penurunan demamnya lebih lambat.
·         Kotrimoksasol dengan dosis
TMP 10 mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
Tabel 1. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi dan S paratyphi A11

S.typhi
S.paratyphi A
Ceftriaxon
92,6
100
Kloramfenikol
94,1
100
Tetrasiklin
100
100
Trimetoprim-Sulfametoksazol
100
100
Ciprofloksasin
100
100
Levofloksasin
100
100

·         Pada kasus berat, dapat diberi sefalosporin generasi 3
Ceftriakson dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dan diberikan 2 kali sehari selama 5-7 hari, maksimal 4 mg/hari.
Cefotaxim dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari melalui 3-4 kali pemberian.
·         Cefixim merupakan pilihan alternatif, terutama pada kasus leukosit < 2000/uL dengan pemberian oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari.
·         Kuinolon baik diberikan untuk tifoid namun tidak dianjurkan pemberiannya pada anak-anak.
·         Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

Tabel 2 Pola Resistensi Salmonella typhi pada 61 Biakan Darah Kasus Demam Tifoid Anak Bagian IKA FKU1/RSCM, 1990-1994.1

Sensitif (%)
Resisten (%)
Intermediate (%)
Ampisilin
96,6
3,4
0
Amoksisilin
96
2
2
Kloramfenikol
91,8
3,3
4,9
Kotrimoksazol
93,2
6,8
0
Seftriakson
91,9
0
8,1
Sefotaksim
89,6
0
10,4
ciprofloksasin
92,3
2,6
5,1
Aztreonam
81,8
15,2
3,0
·         Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal 3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian.10
  1. Suportif  10
Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan darah (bradikardi relatif).
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal. 7
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam. 7

Demam Tifoid dengan Komplikasi
            Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu : 7
a.          Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
·         Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80 %. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
§  Perforasi usus
         Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas diabdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan aerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
b.         Komplikasi ekstra intestinal
§   Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan protombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation product sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapatditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksinmengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.
§  Hepatitis tifosa
         Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hatti. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
§  Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG/CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti ceftriakson atau quinolon.
§  Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
§  Manifestasi neuropsikiatrik/tifoid toksik
         Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, aatis, delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaancairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.

2.      Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain : 7,11
  1. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
  2. Tidak mengandung banyak serat.
  3. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
  4. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah : 12
  • Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
  • Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
  • Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
  • Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
  • Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan
  • Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan.
  • Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam.
  • Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin
  • Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
  • Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.

Diet sisa rendah terbagi dua , yaitu: 12
a.       diet sisa rendah I
diet sisa rendah I adalah makanan yang diberikan dalam bentuk disaring atau diblender. Makanan ini menghindari makanan berserat tinggi dan sedang, bumbu yang tajam, susu, daging berserat kasar (liat), dan membatasi penggunaan gula dan lemak. Kandungan serat maksimal 4 gram. Diet ini rendah energi dan sebagian zat gizi. 12


Tabel 1. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah 1
Bahan makanan
Dianjurkan
Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat
Bubur saring, roti bakar, kentang dipure, makaroni, bihun rebus, biskuit, krakers, tepung-tepungan dipuding atau dibubur
Beras tumbuk, beras ketan, roti whole wheat, jagung, ubi, singkong, talas, cake, tarcis, dodol, tepung-tepungan yang dibuat kue manis.
Sumber protein hewani

Daging empuk, hati, ayam, ikan giling halus, telur direbus, ditim, diceplok air atau sebagai campuran dalam makanan dan minuman
Daging berserat kasar, ayam, dan ikan yang diawet, di goreng kering, telur diceplok, udang dan kerang, susu dan produk susu.
Sumber protein nabati
Tahu ditim dan direbus, susu kedelai

Kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai, tempe dan oncom.
Sayuran
Sari sayuran
Sayuran dalam keadaan utuh
Buah-buahan
Sari buah
Buah dalam keadaan utuh
Minuman

Teh, sirup, kopi encer
Teh dan kopi kental, minuman beralkohol dan mengandung soda
Bumbu
Garam, vetsin, gula
Bawang, cabe, jahe, merica, ketumbar, cuka dan bumbu lain yang tajam

b.      diet sisa rendah II
Diet sisa rendah II merupakan makanan peralihan dari diet sisa rendah I ke Makanan biasa. Diet ini diberikan bila penyakit mulai membaik atau bila penyakit bersifat kronis. Makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Makanan berserat sedang diperbolehkan dalam jumlah terbatas, sedangkan makanan berserat tinggi tidak diperebolehkan. Susu diberikan maksimal 2 gelas sehari. Lemak dan gula diberikan dalam bentuk mudah cerna. Bumbu kecuali cabe, merica dan cuka, boleh diberikan dalam jumlah terbatas. Kandungan serat diet ini adalah 4-8 gram. 12

Tabel 2. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah II
Bahan makanan
Dianjurkan
Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat
Beras dibubur/ditim, roti bakar, kentang rebus, krakers, tepung-tepungan di bubur atau dipuding
Beras tumbuk, beras ketan, roti whole wheat, jagung, ubi, singkong, talas, cake, tarcis, dodol, tepung-tepungan yang dibuat kue manis.
Sumber protein hewani

Daging empuk, hati, ayam, ikan direbus, ditumis, dikukus, diungkep dan di panggang, telur direbus, ditim, diceplok air atau sebagai campuran dalam makanan dan minuman, susu maksimal 2 gelas perhari.
Daging berserat kasar, ayam, dan ikan yang diawet, telur diceplok dan dadar, daging babi.
Sumber protein nabati
Tahu ditim direbus, ditumis, pindakan, susu kedelai

Kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai, tempe dan oncom.
Sayuran

Sayuran yang berserat rendah dan sedang, seperti kacang panjang, buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel direbus, dikukus dan ditumis.
Sayuran yang berserat tinggi seperti daun singkong, daun katuk, daun pepaya, daun dan buah melinjo, oyong, pare serta semua sayur yang dimakan mentah
Buah-buahan

Sari buah; buah segar yang matang (tanpa kulit dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya, pisang, jeruk, avokad, nenas
Buah yang dimakan dengan kulit, seperti apel, jambu biji, dan pir serta jeruk yang dimakan dengan kulit ari; buah yang menimbulkan gas seperti durian dan nangka.
Lemak
Margaris, mentega dan minyak dalam jumlah terbatas untuk menumis, mengoles dan setup
Minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa dan santan
Minuman

Teh, kopi encer, sirup
Teh dan kopi kental, minuman beralkohol dan mengandung soda
Bumbu
Garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam jumlah terbatas.
cabe, merica

Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya.12


3.   Perawatan Medis
Tirah baring dan perawatan medis (medical care) bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai7.
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien7.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.7,9

2.8 Pengidap Tifoid (Karier)
Kasus demam tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid. Pada daerah endemik dan hiperendemik penyandang kuman S.typhi ini jauh lebih banyak serta sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit usaha penanggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1.000/100.0000 populasi pertahun, insiden rata-rata 62% di Asia, dan 35 % di Afrika dengan mortalitas rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi karier. Di antara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20 % diantaranya masih ditemukan kuman S.typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ketiga serta 3 % masih ditemukan setelah 1 tahun. Kasus karier meningkat seiring peningkatan usia dan adanya penyakit kandung empedu, serta gangguan traktus urinarius.7
a.          Definisi dan Manifestasi Tifoid Karier
Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasus tifoid dengan kuman S.typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca penyembuhan. Pada penelitian di Jakarta dilaporkan bahwa 16,18% (N=68) kasus demam tifoid masih didapatkan kuman S.typhi pada kultur fesesnya7.
     Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimptomatis) dan 25%kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan resiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas, karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain. Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini di duga faktor infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut7.
Proses patofisiologis dan patogenesis kasus tifoid karier belum jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typhi belum jelas. Imunitas selular diduga punya peran sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell disease dan sistemic lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakteremia yang berat. Pada pemeriksaan inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat penurunan respons reaktifitas selular terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas seluler dan humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada sistem imunitas humoral dan selular serta respons limfosit terhadap S.typhi antara pengidap tifoid dengan kontrol. Pemeriksaan respons imun berdasarkan serologi antibodi IgG dan IgM terhadap S.typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut tidak berbeda bermakna7.

b.         Diagnosis Tifoid Karier
Diagnosis tofoid karier ditegakan atas dasar ditemukannya kuman S.typhi pada biakan feses maupun urin pada seseorang tanpa gejala klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun paca-demam tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar bukan sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali pemeriksaan tidak ditemukan kuman S.typhi7.
Sarana lain untuk menegakan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi, dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifisitas 92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti pengidap tifoid (karier) beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai 1;2560 pada 7 kasus biakan positif S.typhi, sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S.typhi negatif, 36 tidak ditemukan antibodi Vi, 1 kasus dengan antibodi Vi positif 1:10. 7

c.       Penatalaksanaan tifoid karier
Kesulitan eradikasi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seserorang yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan tuberkulosis maupun tumor di traktus urinarius. Oleh karena itulah insidens tifoid karier meningkat pada wanita maupun pada usia lanjut karena adanya faktor tersebut di atas. Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit yang dapat dilihat pada tabel berikut.7

Tabel 3. Terapi Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid Karier7
Tanpa disertai kasus kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan
1.      ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
2.      amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
3.      kotrimoksazol 2 tablet/2kali/hari
Disertai kasus Kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini:
  1. Ciprofloksasin 750 mg/2kali/hari
  2. Norfloksasin 400 mg/2kali/hari
Disertai Infeksi Schistoma Haematobium pada Traktus urinarius
Pengobatan kasus ini harus dilakkan eradikasi Schistoma Haematobium
  1. prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal
  2. metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu. Setelah eradikasi S.Haematobium tersebut batu diberikan regimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.

2.9 Pengobatan Infeksi Campuran Tifoid
a.      Tifoid dengan infeksi sendi
Peradangan sendi sering terjadi pada pasien demam tifoid. Meskipun basil tifoid pada cairan sendi ditemukan pada sedikit kasus, karena hanya sedikit pencatatan pemeriksaan bakteriologis pada cairan sendi. Penelitian yang dilakukan Orloff, yaitu menyuntikan S.typhi pada anjing dan kelinci, menimbulkan pembengkakan sendi dalam 24 jam, dengan perdarahan pada membran sinovial. Cairan yang keruh, dan keras terbentuk pada sendi yang selanjutnya menjadi purulen. Terapi yang dapat diberikan pada antara lain kompres dingin, untuk peradangan masive dapat dilakukan aspirasi cairan sendi. Bila peradangan sudah berkurang dapat dilakukan terapi pergerakan pasif (Pasive motion), massage, dan frictions. Eradikasi tifoid dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti dibahas diatas. 13

b.      Tifoid dengan Malaria
Infeksi campuran ini ditegakan bila dari gejala klinis dan laboratorium didapat khas tifoid dan klinis malaria bersamaan. Juga dari laboratorium didapat widal reaktif dan ditemukan Plasmodium. Terapi yang diberikan sesuai dengan terapi masing-masing infeksi. Malaria dapat diobati dengan Primakuin 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk P.falciparum, sedangkan untuk P.vivax dengan dosis 15 mg/hari selama 14 hari. Kina dosis yang dianjurkan 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari (1 tablet 220 mg), atau dengan preparat kina ataupun artemisin. Sedangkan untuk tifoid dapat diberikan Ciprofloksasin 500 mg selama 7 – 10 hari.14,15

c.       Tifoid dengan Dengue
Pada kasus dengan tifoid disertai dengan trombositopenia dan IgG dan IgM dengue positif, diberikan terapi antibiotik untuk tifoid. Untuk infeksi dengue, diberikan cairan yang adekuat dan pemantauan perdarahan yang terjadi. 16




2.10 Pencegahan
Vaksinasi dengan menggunakan vaksin T.A.B (mengandung basil tifoid dan paratifoid A dan B yang dimatikan ) yang diberikan subkutan 2 atau 3 kali pemberian dengan interval 10 hari merupakan tindakan yang praktis untuk mencegah penularan demam tifoid Jumlah kasus penyakit itu di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 358-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Suntikan imunisasi tifoid boleh dilakukan setiap dua tahun sedangkan vaksin oral diambil setiap lima tahun. Bagaimanapun, vaksinasi tidak memberikan jaminan perlindungan 100%.7
Mengkonsumsi air yang telah dimasak. Masak air sekurang-kurangnya lima menit penuh (apabila air sudah masak, biarkan ia selama lima menit lagi). 7
Bila sedang dalam perjalanan usahakan menggunakan air botol atau minuman yang telah terjamin kebersihannya. Makan makanan yang baru dimasak. Jika terpaksa makan di kedai, pastikan makanan yang dipesan khas dan berada dalam keadaan `berasap’ kerana baru diangkat dari dapur. Tudung semua makanan dan minuman agar tidak dihinggapi lalat. Letakkan makanan di tempat tinggi. 7
Buah-buahan hendaklah dikupas dan dibilas sebelum dimakan. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih sebelum menyediakan atau memakan makanan, membuang sampah, memegang bahan mentah atau setelah buang air besar.7

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
            Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Di era Multi Drug Resisten seperti saat sekarang ini, pilihan pengobatan haruslah lebih cermat. Penggunaan antibiotik golongan Quinolon merupakan pilihan utama pengobatan demam tifoid untuk saat ini. Tak hanya dengan obat-obatan, perawatan medis yang baik dan benar serta penanganan nutrisi yang tepat juga memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan demam tifoid.

3.2 Saran
            Diperlukan ketepatan dalam mendiagnosa demam tifoid agar tidak terjadi pemakaian antibiotik yang tidak seharusnya. Pemilihan antibiotik yang adekuat dapat mengurangi angka terjadinya resistensi. Perlunya kerjasama antara dokter dan paramedis lain untuk bersama-sama membantu mengobati pasien serta memberikan edukasi yang tepat kepada pasien dan keluarganya agar dapat membantu proses penyembuhan.
            Pencegahan sangat penting yaitu dengan menjaga higiene lingkungan tempat tinggal dan sekitarnya, higiene makanan serta tidak buang air besar sembarangan. Tutup rapat makanan agar tidak dihinggapi lalat.
INFO KESEHATAN © 2008. Design by :vio Templates Sponsored by: gold bola