GANGGUAN SARAF KRANIALIS I,VI,VII PERIFER PADA CEDERA KRANIOSEREBRAL
Nurhayana Lubis
PPDS Neurologi FKUI / RSUPN-CM
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian maupun kecacatan. Di Amerika Serikat cedera kepala merupakan sebab kematian terbesar pada usia kurang dari 45 tahun dan merupakan penyebab utama terjadinya kecacatan.(1,2)
Data epidemiologis di Indonesia dari RS Cipto Mangunkusumo didapatkan kebanyakan akibat dari kecelakaan lalu lintas dan penderitanya berusia kurang dari 35 tahun.(3)
Cedera kepala sering mengakibatkan kerusakan pada saraf kranialis sekitar 5-23%. Kerusakan saraf kranialis yang paling sering terkena secara kasar adalah saraf olfaktorius, saraf fasialis dan saraf vestibulokoklearis. Cedera pada saraf optikus dan saraf-saraf pergerakan bola mata adalah saraf kranialis tersering kedua yang mengalami kerusakan. Saraf abdusens merupakan saraf yang sering terkena pada saraf pergerakan bola mata.(4,5)
Dalam kasus ini akan dibicarakan patofisiologi dan diagnosis kerusakan saraf kranialis yaitu saraf olfaktorius, fasialis dan abdusens pada cedera kranioserebral.
ILUSTRASI KASUS
Tn. D, 32 tahun, datang ke IGD RSCM pada tanggal 9 Mei 2004 dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS setelah motor yang dikendarainya bertabrakan dengan motor lain dari arah berlawanan, pasien tidak dapat menceritakan kejadian dan mekanisme cedera yang dialaminya, pasien tidak mengenakan helm saat mengendarai motornya. Pasien terjatuh dari motor dan tidak sadarkan diri lebih dari 10 menit, terdapat perdarahan dari telinga kanan dan hidung, muntah tidak ada, kejang tidak ada. Pasien langsung di bawa ke RS Swasta terdekat dan dirujuk ke RSCM. Pasien mulai sadar saat di IGD RSCM tapi belum dapat menceritakan cedera yang di alaminya, nyeri kepala(+) . Sebelum kejadian pasien mengkonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik di IGD di dapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran somnolen, tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi pernafasan 22 x/menit, suhu afebris. Kepala didapati jejas pada frontal berupa vulnus ekskoriasi, hematom palpebra -/-, telinga kanan : perdarahan(+) dengan betadin tes (-).
Ekstremitas pada bahu kiri terdapat jejas berupa vulnus ekskoriasi dan edema serta nyeri bila digerakkan. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
Pemeriksaan neurologis didapatkan GCS E3M5V4=12. Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung kedua mata baik. TRM : belum dapat dinilai. Nervus cranial: kesan paresis (-). Motorik kesan hemiparesis(-), refleks fisiologis B/T/KPR/ APR normal, refleks patologis Babinski (-), sensorik: belum dapat dinilai, otonom: belum dapat dinilai.
Pemeriksaan laboratorium penunjang didapatkan Hb 14,5 g/dl; Ht 43%; leukosit 13900/uL; trombosit 212000/uL; ureum 20; kreatinin 0.9; gula darah sewaktu 162 mg/dL; Natrium 142 meq/l; Kalium 4.2 meq/dl; Analisis gas darah: pH 7.407, pCO2 31.2 mmHg,
pO2 71.5 mmHg, HCO 3 19.2 mmol/l, TCO 2 20.2 mmol/l, BE –4.0mmol/l, StdHCO3 21.1 mmol/l Sat O2 94.1%. Foto kepala AP dan lateral: tidak tampak fraktur. Foto servikal:tidak tampak fraktur. CT scan kepala dan bone window: fraktur linier pada dinding lateral kanan sinus sfenoid dan os temporal kiri, fraktur kommunitif pada dinding lateral kiri sinus sfenoid, pneumoensefal. Konsul ke bagian THT : Perdarahan aktif telinga kanan, membran timpani tidak dapat dinilai. Hidung: perdarahan aktif(-), bekuan darah (+), septum deviasi(-), konka eutrofi. Tes betadin (-). Kesan perdarahan telinga kanan dan pasca epistaksis karena trauma, dilakukan pemasangan tampon pada telinga kanan, konsul ulang untuk evaluasi 2 hari kemudian.
Diagnosis kerja : -cedera kepala sedang
-fraktur linier dinding lateral kanan sinus sfenoid dan fraktur komunitif
dinding lateral kiri sinus sfenoid, fraktur linier os temporal kiri,
-pneumoensefal,
-riwayat alkohol.
-fraktur scapula sinistra
Terapi saat di IGD :
- elevasi kepala 30 derajat
- IVFD : Asering/12 jam
- O2 2l/menit
- Ceftriaxone 2x2g
- Citicoline 2x500mg
- Ibuprofen 3x400mg
- Vit B1 1x100mg
Konsul bedah tulang : - Fraktur scapula sinistra ; konservatif, dikakukan pemasangan arm sling.
Follow up dalam perawatan :
Pada perawatan hari ke 2 kesadaran sudah membaik. Pasien masih mengeluh nyeri kepala terasa berat dan belum dapat mengingat kejadian sebelum dan setelah kecelakaan, mata terlihat juling. Status neurologis GCS E4M6V5=15, pupil bulat isokor RCL /RCTL +/+, TRM Kaku kuduk (-), N.Kranialis: lesi N.I, paresis N VI bilateral. Motorik 5555/---- pada ekstremitas atas dan 5555/5555 pada ekstremitas bawah, refleks fisiologis B/T/KPR/ APR ++/++, refleks patologis Babinski -/-, sensorik dan otonom tidak terdapat kelainan.
Pada perawatan hari ke 4 pasien mengeluh nyeri kepala berkurang dan gangguan pada pendengaran/telinga kanan, wajah pasien jika menyeringai tidak sama, gangguan pengecapan disangkal.Pemeriksaan neurologis: GCS E4M6V5=15.N.kranialis: lesi N.I, paresis N.VI bilateral, paresis N. VII perifer sinistra. Rinne -/+ Weber lateralisasi ke kanan.
Pada pengamatan hari ke 19 pasca trauma pasien masih mengeluh pandangan dua terutama melihat jauh, wajah tidak miring. Pada pemeriksaan neurologis GCS E4M6V5=15 pupil bulat isokor RCL /RCTL +/+, TRM Kaku kuduk (-), N.Kranialis: paresis N.VI bilateral. Motorik 5555/---- pada ekstremitas atas dan 5555/5555 pada
ekstremitas bawah, refleks fisiologis B/T/KPR/ APR ++/++, refleks patologis Babinski -/-, sensorik dan otonom tidak terdapat kelainan.
TOAG 49/72/93(10.5.04;14.5.04;17.5.04)
Pasien mendapat terapi prednison 60 mg/hari, mulai tanggal 14.5.2004.
Pemeriksaan penunjang :
- Radiologi : Foto kepala (9.5.2004) kesan fraktur(–)
Foto toraks (9.5.2004) fraktur scapula sinistra
- CT scan kepala + bone window : (9.5.2004) fraktur linier pada dinding lateral
kanan sinus sfenoid dan os temporal kiri. Fraktur komunitif pada dinding lateral kiri
sinus sfenoid.
-Hasil konsul ulang THT : (12.5.20040) Pasca perdarahan telinga kanan dan hematimpanum auricula dekstra. Tindakan H2O2 3% 3x5 gtt AD dan konsul ulang di poli THT . (17.5.2004) Paresis N. VII sinistra perifer, pasca perdarahan liang telinga AD, tuli konduktif. Tindakan terapi antibiotika topical (Tarivid otic drop 2x3 tetes AD) dan Iliadin 0,05% 3x2 spray KNDS.
-Hasil konsul ulang THT : (7.6.2004), didapatkan tuli konduktif AD ec gangguan fungsi tuba AD. Terapi: Sudafed (Dekongestan 3x1 tab).
-Hasil konsul NO : 14.5.2004 Kesimpulan paresis N VI bilateral dan paresis N VII
sinistra perifer ec trauma ( fraktur basis kranii). Saran : tutup mata bergantian kanan dan
kiri selama 4 jam.
-EMG : 24.5.2004 Kesan EMG: Gangguan neurogen perifer N. VII kiri
KHS : Kemungkinan lesi lebih banyak di
bagian distal fibrilasi tidak ada.
-Konsul Fungsi luhur : 24.5.2004 Saat ini terdapat gangguan atensi dan memori dari
pasien. Saran ; Piracetam 2x1200mg
Kontrol ulang 3 bulan kemudian.
MMSE: 28
DIAGNOSIS
Klinis : lesi N I, paresis N VI bilateral, paresis N VII perifer sinistra, tuli
konduktif AD
Topis : Nervus fasialis perifer infragenikulatum sinistra, N.I,N.VI
bilateral
Etiologis : Cedera kranioserebral.
Patologis : Edema, avulsi, perdarahan telinga kanan.
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Sampai saat ini belum ada klasifikasi trauma kepala yang dapat diterima dan digunakan secara universal di seluruh dunia. Di beberapa kepustakaan terdapat bermacam-macam
sistem klasifikasi yaitu berdasarkan tingkat keparahan (klinis), lokasi lesi dan patofisiologi. Klasifikasi patofisiologi sampai saat ini tetap dipakai untuk pencatatan dan pelaporan standar internasional (ICD).(6,7)
Klasifikasi tersebut adalah:
- Patofisiologi
- Komosio serebri: Pada keadaan ini tidak ada jaringan otak yang rusak tapi hanya kehilangan fungsi otak sesaat, berupa pingsan kurang dari 10 menit atau amnesia pasca trauma.
- Kontusio serebri: Kerusakan jaringan otak dengan defisit neurologik yang timbul setara dengan kerusakan otak tersebut, minimal pingsan > 10 menit dan atau lesi neurologik yang jelas.
- Laserasi serebri: Kerusakan otak yang luas dan jaringan otak robek yang umumnya disertai fraktur tengkorak terbuka.
- Lokasi lesi
- Lesi difus: Kerusakan akibat proses trauma akselerasi/deselerasi yang merusak sebagian besar akson di susunan saraf pusat akibat regangan.
- Lesi kerusakan vaskular otak, disebabkan oleh lesi sekunder iskemik terutama akibat hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi pada waktu selama perjalanan ke rumah sakit atau selama perawatan.
- Lesi fokal: a. Kontusio dan laserasi serebri: Disebut kontusio bila pia-subarachnoid masih utuh dan jika robek dianggap laserasi.
b. Hematoma intrakranial
- Hematoma ekstradural (hematoma epidural)/EDH
- Hematoma subdural/ SDH
- Hematoma intradural : Hematoma subarakhnoid/ SAH
Hematoma intraserebral/ ICH
Hematoma intraserebelar
- Klinis
- Cedera Kranioserebral Ringan : SKG 13-15, gambaran klinis pingsan tidak ada atau kurang dari 10 menit, defisit neurologik (-), skening otak normal.
- Cedera Kranioserebral Sedang : SKG 9-12, gambaran klinis >10 menit s/d 6 jam, terdapat defisit neurologik, skening otak abnormal.
- Cedera Kranioserebral Berat : SKG 3-8, gambaran klinis terdapat pingsan >6 jam dan defisit neurologik, skening otak abnormal.
Pada anamnesis didapatkan penurunan kesadaran sejak 2,5 jam SMRS selama lebih dari 10 menit kurang dari 6 jam dan pada pemeriksaan di IGD didapatkan penilaian SKG 12(E3M5V4) maka pasien dapat dimasukkan pada cedera kranioserebral sedang berdasarkan klinis.
Pasien ini diperkirakan mengalami benturan pada kepala bagian kiri depan, sehingga menimbulkan fraktur linier pada tulang tengkorak dan pada dinding lateral sfenoid kiri dan kanan.
Pada perkembangan klinis pasien selama perawatan di dapatkan pada hari ke 2 terdapat lesi saraf olfaktorius, paresis saraf abdusens bilateral, hari ke 4 terlihat paresis saraf fasialis perifer.
ANATOMI SARAF OLFAKTORIUS
Trauma pada saraf olfaktorius terjadi pada 5-10% trauma kepala, merupakan saraf tersering yang terkena pada trauma kepala.(5) Secara umum terjadinya anosmia berhubungan dengan keparahan trauma, tapi gangguan penciuman setelah trauma ringan juga dapat terjadi. Kebanyakan dari pasien-pasien ini tidak memperhatikan hiposmia yang terjadi pada mereka, dan diketahui melalui olfactometry.(5)
Saraf olfaktorius adalah serabut-serabut saraf yang menghubungkan mukosa ruang hidung dan bulbus olfaktorius. Serabut-serabut itu tak berselubung myelin dan menyusun beberapa berkas saraf halus yang menembus lamina kribosa os ethmoidalis untuk bersinaps di bulbus olfaktorius. Neuron-neuron kedua yang terkumpul dalam bulbus olfaktorius menghantarkan impuls penghidu ke korteks olfaktorik. Berkas saraf yang tersusun oleh serabut sentral neuron-neuron tersebut dinamakan traktus olfaktorius.(8)
Sistem olfaktori dibentuk oleh epitel olfaktori, bulbus dan traktus bersama-sama dengan area olfaktori pada otak dan hubungannya pada pusat-pusat lain .(9)
Saraf olfaktorius merupakan saraf sensorik yang fungsinya hanya satu yaitu mencium bau/menghidu.(10)
Patofisiologi cedera saraf olfaktorius
Trauma kepala dapat menyebabkan terputusnya serabut olfaktorius dan menyebabkan gangguan penciuman, merupakan penyebab yang paling sering dijumpai dan kebanyakan dijumpai pada kecelakaan sepeda motor.(10)
Benturan pada frontal dan oksipital merupakan trauma tersering yang menyebabkan anosmia, dengan atau tanpa fraktur dari cribriform plate. Trauma langsung dan contrecoup menyebabkan peregangan dan terputusnya serabut saraf olfaktori karena tenaga akselerasi/deselerasi yang kuat.(5)
Fraktur dari cribriform plate dapat menyebabkan kompresi atau laserasi dari serabut olfaktori, anosmia/hiposmia juga dapat diakibatkan dari edema, hematoma, iskemia atau trauma langsung pada bulbus dan traktus olfaktori.(5)
Pada pasien ini gangguan penciuman tidak dikeluhkan oleh pasien dan dari pemeriksaan fisik didapatkan hiposmia pada hari kedua dan pulih pada hari ke 19. Kemungkinan gangguan penciuman terjadi karena edema pada sistem olfaktori.
Penatalaksanaan
Hampir 40% pada pasien sembuh dari gangguan penciuman meskipun dalam 3 bulan atau beberapa tahun pada sebagian pasien.(5)
Pada pasien ini fungsi penciuman pulih pada hari ke 19.
ANATOMI SARAF ABDUSENS
Tiga persen sampai tujuh belas persen kelumpuhan N.VI terjadi pada trauma kepala. Saraf abdusens merupakan saraf pergerakan bola mata yang paling sering rusak pada 2,7% trauma kepala, karena N.VI mempunyai rute intrakranial yang
panjang melewati clivus dan petrosus ridge disertai pengikatan kuat dalam sinus cavernosus, hal ini yang menjelaskan N.VI rapuh pada peregangan dan terjadi pergeseran pada trauma. Nukleus N.VI terletak lateral dari garis tengah pons. Dalam perjalanan melewati sinus cavernosus inferior N.VI terletak lateral dari arteri carotis interna dan medial dari ganglion trigeminal kemudian memasuki orbita melalui fisura orbital superior.(5)
Patofisiologi Cedera Saraf Abdusens
Schneider dan Johnson berpendapat trauma keras pada basis tengkorak menyebabkan N.VI terkena ligamen petrosphenoidal yang tebal dan kaku, sementara Arias berpendapat lubang dura yang rigid dan petrous ridges merupakan tempat terjadinya contusio atau avulsi dari saraf. Kedua jenis trauma ini bisa menyebabkan peregangan atau robeknya saraf serta disfungsi saraf ini.
Pasien yang mengalami trauma pada N.VI memperlihatkan derajat kesadaran yang bervariasi dan keluhan diplopia horizontal binokular yang tersering pada jarak jauh dibandingkan pada objek dekat atau yang terfiksasi.Tes pergerakan ekstraokuler memperlihatkan posisi esotropia dan abduksi yang terbatas.Resolusi bisa lengkap atau tidak lengkap.(5)
Pada pasien ini gangguan pergerakan bola mata yang terjadi akibat peregangan atau robeknya saraf abdusens, akibat trauma pada basis tengkorak.
Penatalaksanaan
Terapi menutup mata bertujuan untuk meniadakan diplopia. Memperbaiki binocular single vision menjadi posisi yang baik dengan menggunakan prisma. Terapi botulinum untuk antagonis rectus medial bertujuan memperbaiki posisi esotropia yang digunakan untuk mengatasi masalah double images.
Operasi hanya dilakukan setelah observasi selama 6-12 bulan yang merupakan waktu maksimal penyembuhan secara spontan.(5)
Pada pasien ini digunakan terapi menutup mata bergantian pada mata kanan dan kiri.
ANATOMI SARAF FASIALIS PERIFER
Saraf fasialis adalah saraf kranialis yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah. Saraf fasialis terdiri dari 4 komponen yaitu; brankial eferen, visceral eferen, visceral aferen spesial dan somatik aferen. Komponen brankial eferen (motorik) berasal dari nukleus motorik fasialis, mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, platisma, M.Stilohioideus, M.digastrikus. Nukleus motorik fasialis terdiri dari 2 bagian yaitu dorsal dan ventral. Nukleus bagian dorsal mempersarafi bagian frontal, wajah bagian atas, otot-otot zigomatikus dan bagian atas orbikulasi okuli, sedangkan bagian ventral mempersarafi bagian bawah orbikularis okuli, wajah bagian bawah dan platysma. Sedangkan saraf intermedius yang merupakan bagian dari saraf fasialis terdiri dari komponen sensorik (visceral aferen spesial dan somatic aferen) dan visceral eferen.(12,14)
Setelah axon keluar dari ventrolateral pons, jaras motorik dan saraf intermedius berjalan ke lateral menuju cerebellopontine angle bergabung bersama N.VIII. Kemudian saraf fasialis dan saraf akustikus memasuki meatus akustikus internus yang terdapat pada os temporal. Dalam tulang temporal ke empat komponen saraf fasialis dapat dibedakan.
Segmen meatal (7-8mm). Setelah memasuki meatus, komponen motorik berada di superior dari N.VIII dan saraf intermedius berada diantara keduanya.
Dalam segmen ini saraf fasialis tidak bercabang.
Segmen labirin (3-4mm). Pada ujung lateral meatus akustikus internus komponen motorik dan saraf intermedius memasuki kanalis fasialis (fallopian canal) pada pars petrosus os temporalis. Segmen labirin ini berjalan anterolateral sampai diatas labirin dan mencapai ganglion genikulatum. Ganglion genikulatum terdiri dari perikarya pseudounipolar jaras sensoris saraf intermedius. Cabang besar pertama yaitu saraf petrosus superfisialis mayor bercabang dari apek ganglion genikulatum. Saraf ini terdiri dari serabut preganglion parasimpatis eferen yang mempersarafi kelenjar air mata, palatum dan mukosa hidung yang sebelumnya tergabung dalam ganglion sfenopalatina. Saraf petrosus superfisialis mayor juga mengandung komponen sensorik yang berasal dari kulit liang telinga keluar, pinna lateral dan mastoid.
Segmen horizontal/timpanic (12-13mm). Dari ganglion genikulatum saraf fasialis berjalan horisontal ke belakang, medial dari kanalis semi sirkularis horisontal.
Pada segmen ini saraf fasialis tidak bercabang.
Segmen mastoid/vertical (15-20mm). Pada segmen ini saraf fasialis memberi cabang yaitu saraf untuk otot stapedius. Cabang lain dari segmen ini adalah corda tympani. Chorda tympani mengandung saraf parasimpatis preganglionik yang mempersarafi kelenjar submandibular dan sublingual setelah melewati ganglion submaksila. Chorda tympani juga mengandung jaras aferen pengecapan 2/3 anterior lidah yang menuju nukleus traktus solitarius.
Setelah itu saraf fasialis keluar dari kanalis fasialis dan keluar menuju foramen stylomastoideus. Dekat foramen saraf fasialis memberikan cabang saraf aurikularis posterior, cabang digastrikus dan cabang stylohyoideus. Kemudian setelah menembus kelenjar parotis saraf fasialis terbagi menjadi dua yaitu cabang temporofasialis dan cervicofasialis. Cabang-cabang inilah yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah dan otot platysma.(9,14)
Patofisiologi Cedera Saraf Fasialis
Selain karena trauma, kelumpuhan saraf fasialis perifer dapat disebabkan oleh tumor, aneurisma, infeksi meningen, leukemia, osteomyelitis, herpes zoster, paget disease, dan sarcoma atau tumor tulang lainnya. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi tanpa diketahui sebabnya dan disebut Bell’s palsy. Bell’s palsy sering terjadi akibat adanya paparan terhadap suhu dingin dan karena adanya pembengkakan saraf pada fasialis. Kelumpuhan ini dapat terjadi pada semua umur tetapi pada umumnya pada dekade ketiga dan keempat.(13)
Cedera saraf fasialis dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau tajam pada tulang temporal pars petrosus. Kelumpuhan saraf fasialis berdasarkan onsetnya
dibagi menjadi dua yaitu onset segera (immediately), onset lambat (delayed) dan campuran (mixed). Kelumpuhan otot-otot wajah dapat sebagian atau seluruhnya, unilateral atau bilateral.
Paresis saraf fasialis tipe lambat terjadi 2-3 hari setelah trauma tetapi dapat muncul paling cepat 1 hari atau selambatnya 2 minggu setelah kecelakaan. Paresis tipe ini dipikirkan akibat adanyan pembengkakan dari saraf yang terdapat didalam lapisan fibrosis atau epineurium, kerusakan vaskularisasi daerah sekitar atau adanya spasme arteri. Dapat pula disebabkan adanya kompresi eksternal oleh adanya hematom atau edema jaringan ikat dan periosteum yang terdapat diantara saraf dan kanalis fasialis. Kompresi yang berkepanjangan dapat menyebakan kesembuhan yang tidak sempurna. Sedangkan pada tipe campuran paresis saraf yang tidak total beberapa hari kemudian diikuti oleh paralisis total.(11,12)
Kelemahan wajah yang terjadi dengan onset segera setelah kecelakaan menunjukkan adanya trauma langsung pada saraf dimana penyembuhan spontan jarang terjadi. Sedangkan paresis saraf fasialis dengan onset lambat dapat sembuh pada 94% pasien.(5,11,12)
Penentuan lokasi dari saraf yang terkena sangat penting. Tempat cedera saraf fasialis dapat dibagi menjadi 5 yaitu : infragenikulakum, transgenikulatum, supragenikulatum, meatus, intrakranial. Oleh karena itu pemeriksaan fisik yang teliti harus dilakukan untuk dapat menentukan lokasi terjadinya cedera saraf fasialis. Disamping pemeriksaan motorik otot-otot wajah, dilakukan pula pemeriksaan produksi air mata dengan menggunakan metode schirmer test (funsi n.petrosa superfisisal mayor), sekresi saliva dan pengecapan 2/3 anterior lidah serta refleks otot stapedius. Pemeriksaan elektrodiagnostik juga harus dilakukan, digunakan sebagai dasar untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pemeriksaan yang sering dilakukan elektromyografi (EMG). Disamping itu ada juga pemeriksaan dengan stimulasi listrik terhadap saraf fasialis yang disebut juga stimulasi Hilger. Pemeriksaan ini dapat membandingkan konstraksi otot antara sisi yang normal dan yang lumpuh. Tidak adanya respon sesaat setelah cedera menunjukkan terputusnya saraf fasialis secara total. Tetapi walaupun demikian stimulasi diteruskan hingga 4 hari karena bagian distal masih intak. Jika setelah itu fungsi saraf yang cedera memiliki ambang yang hampir sama dengan sisi yang normal maka prognosisnya bagus.(4,11)
Pada pasien ini terjadi kelumpuhan otot wajah pada bagian atas dan bawah sisi kiri. Paresis saraf fasialis pada pasien ini digolongkan sebagai paresis tipe lambat, diduga disebabkan oleh adanya pembengkakan saraf dalam lapisan fibrosisnya atau epineurium. Dari gejala klinis yang ditemukan pada pasien ini, lokasi dari saraf yang terkena diperkirakan adalah pada segmen mastoid (infragenikulatum) setelah percabangan terhadap otot stapedius. Gejala klinis yang dijumpai jika terjadi lesi didaerah tersebut ialah paresis otot-otot wajah pada bagian atas dan bawah. Karena lesi tersebut berada di distal dari otot stapedius maka tidak terdapat gejala hiperakusis.(7,12)
Penatalaksanaan
Non pembedahan
Turner melaporkan bahwa dengan terapi non pembedahan 85% pasien cedera saraf fasialis dapat sembuh sempurna, pada tipe lambat 94% sembuh sempurna. Oleh karena itu sebagian besar pasien tidak membutuhkan pembedahan. Proses penyembuhan berlangsung terus sampai 18 bulan.(5)
Pembedahan
Untuk mengambil keputusan apakah seorang memerlukan pembedahan atau tidak sangatlah sulit. Indikasi yang jelas untuk dilakukannya pembedahan adalah jika terdapat fraktur transversal os temporal dimana juga terdapat gangguan pendengaran dan vestibular. Dilakukan mastoidektomi dan dekompresi terhadap saraf fasialis.
(11) Pada paralisis tipe lambat hanya dilakukan dekompresi.(4)
Fisioterapi
Pada kelumpuhan saraf fasialis yang berlangsung lama diperlukan stimulasi elektrik terhadap otot-otot yang dipersarafi untuk mempertahankan tonus otot dan mencegah kontraktur.(13)
Pada pasien ini diberikan terapi prednison 60 mg/hari dengan pemikiran bahwa paresis saraf fasialis yang terjadi disebabkan oleh adanya pembengkakan saraf dan bukan disebabkan terputusnya saraf fasialis sehingga tidak dilakukan terapi operatif serta latihan pergerakan pada otot-otot wajah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelly DF, Doberstein C, Becker DP. General principles of head injury management. In: Narayan RK, editor. Neurotrauma. New York, Mc Graw-Hill Company 1996:p.71-94.
2. Gilroy, editor. Head Trauma. In:Basic Neurology, 3th edition.New York ,2001.
3. Soertidewi L.Evaluasi masalah pada Cedera Kranioserebral.Dalam: Neurona,21; Jakarta, 2004:hal26-34.
4. Evans RW,editor. Post traumatic cranial neuropathies.In: Neurology and trauma, 2nd edition.Philadelphia,WB Saunders,1996:p.117-23.
5. Chung SM, Fenton GA, Schmidt JG, Selhorst JB. Trauma to the cranial nerves and brainstem. In:Narayan RK,editor. Neurotrauma. New York, Mc Graw-Hill Company, 1996:p.621-34.
6. Misbach J. Konsep kerusakan sekunder pada trauma otak. Dalam: Simposium Cedera Kranioserebral. FKUI, Jakarta,1999.
7. Markam S et al,editor. Patofisiologi cedera kepala. Dalam:Cedera Kepala Tertutup. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1999:p4-28.
8. Mardjono M,Sidharta P. Saraf otak dan patologinya.Dalam:Neurologi Klinis Dasar,edisi 5, Jakarta, Dian Rakyat 1989:hal 114-15.
9. Pauwels W, Akesson, Stewart.In: Cranial Nerves Anatomy and Clinical Comments, BC Decker Inc Toronto - Philadelphia , 1988:p.2-5.
10. Lumbantobing SM, Dalam:Neurologi Klinik Pemeriksaan fisik dan mental,Balai Penerbit FKUI,2000:hal.22-25.
11. Murali,Rovit.Injuries of the cranial nerves.In: Barrow DL, editor. Complication and sequeles of head injury. Ilinois, AANS,1992:p.166.
12. De Jong. The fascial nerve. In: Haerel AF, editor. The Neurologic Examination, 5th edition. Philadelphia, JB Lippincott Company 1992:p.180-99.
13. Basford RJ, Electrical Therapy, In: Handbook Of Physical Medicine and Rehabilitation, 4th .Editor: Kottke FJ, Lehmann JF, WB Saunders, Tokyo , 1990:p.375-401.
14. Duus P. Otak dan saraf kranialis.Dalam:Diagnosis topis neurology, edisi II. Jakarta ,EGC, 1994:p. 74-118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar