Kamis, 27 Januari 2011

Referat: Angiofibroma Nasofaring Juvenile

PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngealangiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua.
ANATOMI
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
INSIDENS
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.
PATOLOGI
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
PENYEBARAN
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.
GEJALA KLINIK
Gejala :
1. Paling sering mengenai anak dan remaja laki-laki.
2. Umumnya pada dekade ke-2, antara 7-19 tahun. Jarang pada pasien dengan umur lebih dari dua puluh lima tahun.
3. Obstruksi nasal. Gejala yang paling sering, terutama pada tadium awal.
4. Epistaksis. Kebanyakan unilateral dan rekuren; biasanya epistaksis berat memerlukan perhatian medis; diagnosis dari angiofibroma pada laki-laki remaja dipertimbangkan.
5. Sakit kepala. Terutama jika sinus-sinus paranasalis tersumbat.
6. Muka bengkak.
7. Gejala lainnya termasuk rinore unilateral, anosmia, hiposmia, rinolalia, otalgia, pembengkakan dari palatum, dan deformitas pipi.
Tanda-tanda :
1. Massa di cavum nasi.
2. Massa di Orbita.
3. Proptosis.
4. Tanda lainnya mungkin termasuk otitis serosa pada blokade tuba eustakhius. Pembengkakan zigomatikus dan trismus menandakan penyebaran dari tumor ke fossa infratemporal. Penuruan penglihatan mengenai nervus optik jarang dilaporkan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali.
CT SCAN
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC :
  • Stadium I : Tumor di nasofaring.
  • Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
  • Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
  • Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :
  • Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  • Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan destruksi tulang.
  • Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus.
  • Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pituitary.
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa erosi superior dari tulang orbita.
- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid); perluasan minimal intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus.
PENGOBATAN
EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.
OPERASI
Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).
-Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.
-Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy, memanfaatkan jalan masuk posterior ke tumor.
-Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
-Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum nasi dan sinus-sinus paranasali.
RADIOTERAPI
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
HORMONAL
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
Contoh Suatu Kasus dan Tahapan Operasi Rhinotomy Lateral:
Anak laki-laki dengan riwayat sumbatan hidung sebelah kiri yang telah lama dan riwayat tiga bulan epistaksis bilateral berulang. Pemeriksaan memperlihatkan massa pada hidung kiri. Suatu angiofibroma nasofaring juvenile setelah pemeriksaan CT Scan. Operasi pengangkatan dilakukan setelah pre-operatif angiografi dengan embolisasi dari tumor. Operasi berjalan tanpa komplikasi atau membutuhkan transfusi darah perioperatif. Tujuh tahun setelah pengangkatan tumor dengan tidak bukti rekuren.
1. Lateral rhinotomy sinistra dan membelah bibir. Membuat osteotomies maksillaris medial.
2. Segmen maksillaris anterior dan lekukan hidung dibuka untuk melihat tumor yang terletak dibawah.
3. Maksillotomy anterior diperluas kelateral untuk jalan masuk ke bagian lateral dari tumor. Sphenoethmoidectomy dan dinding posterior sinus maksillaris dibuka untuk penglihatan yang luas agar aman mengangkat tumor dari dasar tengkorak dan fossa pterygomaksillaris atau infra temporal.
4. Tumor besar berbentuk “dumbell” diangkat.
5. Membuat dacrocystorhinostomy dan medial canthopexy. Cavum diisi dengan pasta bismuth-iodoform-paraffin kawat impregnated. Segmen maksillaris media dikembalikan dan difiksasi dengan kawat interosseous. Kartilago nasal bagian atas samping disambungkan ke tulang untuk mencegah kolaps dari valvula nasal.
6. Insisi eksternal dan intraoral ditutup lapis demi lapis.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
  1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous).
  2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
  3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
PROGNOSIS
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.

Selasa, 25 Januari 2011

TBC pada Anak

Serangan TBC terhadap anak-anak juga sangat rawan mengganggu organ tubuh selain paru-paru, terutama otak. Akibatnya, anak terganggu tumbuh kembangnya, bahkan. 
Berdasarkan pengalamannya, tuberkulosis pada anak rawan menyerang antara lain tulang, mata, dan terutama otak. Serangan TBC pada otak, misalnya, dapat menyebabkan kecacatan. Anak terancam gagal kembang, sulit bicara, tangan lemah atau cacat lain sehingga perlu penanganan fisioterapi. 
Tantangan lain, TBC pada anak, terutama bayi yakni kesulitan memeriksa apakah anak terkena TBC. Gejala yang sering timbul antara lain demam yang biasanya terlalu tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu lama. Sedangkan, tanda-tanda yang tidak terlalu spesifik antara lain berat badan turun tanpa sebab jelas, nafsu makan tidak ada, gagal tumbuh, pembesaran kelenjar limfa yang tidak sakit, batuk lama lebih dari tiga minggu, serta diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. Kerap kali anak terlambat ditangani. 
Jika terdapat gejala tersebut, sebaiknya anak sedini mungkin dibawa ke puskesmas atau rumah sakit untuk dites mountex dan kemudian dievaluasi lebih lanjut. Tak kalah penting ialah informasi lengkap dari orangtua selengkapnya tentang kondisi kehidupan anak. 
Bagi anak yang telah terkena TBC, pengobatan yang dijalani sama saja dengan orang dewasa yakni menjalani pengobatan paket selama enam bulan. Namun, tuberkulosis pada anak tidak cukup semata ditangani dengan pengobatan, tetapi perbaikan lingkungan serta peningkatan gizi sangat penting untuk memperkuat daya tahan tubuh anak. 
Imunisasi BCG (antituberkulosis) tidak menjamin anak bebas dari penyakit tersebut. Kuman penyebab TBC yakni Mycobacterium tuberkulosis ditularkan melalui percikan dahak. Jika terkena kuman terus-menerus dari orang-orang dewasa di dekatnya, terutama orangtua, maka anak tetap terkena. Di antara sesama anak kecil sendiri sangat kecil kemungkinan menularkan. 
"Padahal, interaksi orangtua sangat dekat dan intens dengan anak, apalagi yang masih bayi. Terkadang sambil menimang-nimang dinyanyikan dan anak mendapat percikan dahak dari orangtua yang sakit TBC. sehingga anak tertular
Oleh karena itu, angka anak penderita TBC sangat terpengaruh jumlah orang dewasa yang dapat menularkan TBC.

TBC

A. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

B. Penyebab
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

C. Tanda dan Gejala
Gejala umum:

  1. Batuk terus menerus lebih dari 4 minggu atau lebih dengan atau tanpa sputum
  2. Badan lemah
  3. Gejala flu
  4. Demam derajat rendah
  5. Nyeri dada
Gejala yang sering jumpai:
  1. Dahak bercampur darah
  2. Batuk darah
  3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada
  4. Badan lemah, nafsu makan menurun

D. Perjalanan Penyakit (Patogenesis)
1. Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar UV ventilasi yang baik dan kelembabab udara. Dalam suasana gelap dan lembab kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kuman dapat juga masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini jarang terjadi.
Bila kuman menetap di jaringan paru maka akan membentuk sarang TB pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini dapat terjadi dibagian mana saja jaringan paru. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer.
Komplek primer ini selajutnya dapat menjadi :
  • Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
  • Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang) Ghon.
  • Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya.
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar keusus.
c. Secara limfogen, keorgan tubuh lainnya
d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

2. Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (TB post primer). TB post primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru-paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Tergantung dari jumlah kuman, virulensi dan imunitas penderita, sarang dini ini dapat menjadi :
  1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa cacat
  2. Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan sebukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
  3. Sarang dini meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis dan menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadillah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik.

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Reaksi hipersensitivitas : Tes Kulit Tuberkulin
a. Tes tuberkulin intradermal (Mantoux)
b. Tes tuberkulin dengan suntikan jet
c. Tes tuberkulin tusukan majemuk
2. Pemeriksaan radiografik
Gambaran TBC milier berupa bercak-bercak halus tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiology lain yang sering menyertai TBC paru adalah penebalan pleura, efusi pleura atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio lusen dipinggir paru atau pleura).
3. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan ini penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis dapat dipastikan. Kriteria sputum BTA positip adalah sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.

F. Penatalaksanaan
1. Obat anti TB (OAT)
Karena pemakaian obat tunggal banyak terjadi retesistensi karena sebagian besar kuman TB memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak maka terapi TB dilakukan dengan memakai paduan obat.
Jenis Obat :
• Obat primer
- isoniazid = INH - Streptomisin = SM
- Rifampisin = RMP - Etambutol
- Pita zinamid
• Obat sekunder
- Etionamid - P.A.S (Para Amine Saliycylic Acid)
- Prorionamid - Tiasetazon
- Sikloseren - Viomysin
- Kanamisin - Kapremisyn
2. Pembedahan pada TB Paru
3. DOTS
4. Pencegahan
• Kemaprofilaksis
• Vaksinasi BCG
• Program kontrol.

Hidronefrosis

A. Definisi
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal.
B. Etiologi
Hidronefrosis disebabkan adanya obstruksi.
C. Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir balik, sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu ataukekakuan maka hanya satu ginjal saja yang rusak.
Obstruksi parsial atau intermiten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat abses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat dari bentuk abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah, yang menyebabkan ureter berpilin atau kaku. Pada pria lansia , penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan akibat pembesaran uterus.
Apapun penyebabnya adanya akumulasi urin di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi. Ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertropi kompensatori), akhirnya fungsi renal terganggu.
D. Tanda dan Gejala
1. Rasa sakit dipanggul dan punggung
2. Disuria
3. Menggigil
4. Demam
5. Nyeri tekan
6. Piuria
7. Hematuria
E. Penatalaksanaan
Tujuan : Untuk mengidentifikasi dan memperbaiki penyebab obstruksi, untuk menangani infeksi, dan untuk mempertahankan serta melindungi fungsi renal.
Untuk mengurangi obstruksi urin harus dialihkan dengan tindakan nefrostomi atau tipe diversi lainnya.
Infeksi ditangani dengan agen antimikrobial karena sisa urin dalam kaliks menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan untuk mengankat lesi obstruktif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu ginjal rusak parah dan fungsinya hancur, nefrektomi dapat dilakukan.



NEFROSTOMI

A. Drainase Nefrostomi
Selang nefrostomi dimasukkan langsung ke dalam ginjal untuk pengalihan aliran urin temporer atau permanen secara percutan atau melalui luka insisi. Sebuah selang tunggal atau selang nefrostomi sirkuler atau U-loop yang dapat tertahan sendiri dapat digunakan. Drainase nefrostomi diperlukan utuk drainase cairan dari ginjal sesudah pembedahan, memelihara atau memulihkan drainase dan memintas obstruksi dalam ureter atau traktus urinarius inferior. Selang nefrostomi dihubungkan ke sebuah system drainase tertutup atau alat uostomi.
B. Nefrostomi Perkutaneus
Pemasangan sebuah selang melalui kulit ke dalam pelvis ginjal. Tindakan ini dilakukan untuk drainase eksternal urin dari ureter yang tersumbat, membuat suatu jalur pemasangan stent ureter, menghancurkan batu ginjal, melebarkan striktur, menutup fistula, memberikan obat, memungkinkan penyisipan alat biopsy bentuk sikat dan nefroskop atau untuk melakukan tindakan bedah tertentu.
Daerah kulit yang akan dinsisi dipersiapkan serta dianestesi, dan pasien diminta untuk menarik nafas serta menahannya pada saat sebuah jarum spinal ditusukkan ke dalam pelvis ginjal. Urin diaspirasi untuk pemeriksaan kultur dan media kontras dapat disuntikkan ke dalam system pielokaliks.Seutas kawat pemandu kateter angografi disisipkan lewat jarum tersebut ke dalam ginjal. Jarum dicabut dan saluran dilebarkan dengan melewatkan selang atau kawat pemandu. Selang nefrostomi dimasukkan dan diatur posisinya dalam ginjal atau ureter, difiksasi dengan jahitan kulit serta dihubungkan dengan system drainase tertutup.

EFUSI PLEURA

A. Definisi
Efusi Pleura adalah pengumpulan cairan didalam rongga pleura ( Brunner & Suddarth, 2001).

B. Etiologi

  1. Infeksi tuberculosis
  2. Infeksi nontuberculosis
  3. Keganasan
  4. Trauma
  5. Parapneumonia, Parasit (ameba, paragonimiasis, Echinococcus), Jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, Q fever, Legionella).
  6. Keganasan paru
  7. Proses imunologis: pleuritis lupus, pleuritis rheumatoid, sarkoidosis.
  8. Radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.

C. Tanda dan Gejala
1. Nafas pendek
2. Nyeri dada pleuritik
3. Takipnea
4. Hipoksemia bila ventilasi terganggu
5. Perkusi : pekak
6. Penurunan bunyi nafas di atas area yang sakit


D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai
filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotic
plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke
dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui limfe sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang disebabkan oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga
udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada
atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien emfisema paru.

E. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Rontgen dada / Sinar tembus dada
  2. Ultrasonografi pleura: menentukan adanya cairan dalam rongga pleura.
  3. CT scan dada
  4. Torakosentesis
a. Warna cairan :
Cairan pleura berwarna kekuning-kuningan
Bila agak kemerah-merahan dapat terjadi pada trauma, infark paru, keganasan dan
adanya kebocoran aneurisma aorta.
Bila Kuning kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema.
Bila merah coklat, ini menunjukkan adanya abses karena ameba.
b. Biokimia : basil tahan asam (untuk tuberculosis), hitung sel darah merah dan putih, kadar
pH, glukosa, amilase.
c. Sitologi : sel neutrofil, sel limfosit, sel mesotel, sel mesotel maligna, sel-sel besar dengan
banyak inti, sel lupus eritematosus sistemik.
d. Bakteriologi

5. Biopsi pleura


F. Penanganan

  1. Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
  2. Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
  3. Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
  4. Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen (analisis), menghilangkan dispnea.

G. Komplikasi
  1. Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum)
  2. Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
  3. Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis)
  4. Laserasi pleura viseralis

H. Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada klien dengan efusi pleura
  1. Nyeri berhubungan dengan agen injury: fisik
  2. Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan factor-faktor risiko lain yang menentukan.
  3. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan tubuh primer (cairan tubuh statis).
  4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas.
INFO KESEHATAN © 2008. Design by :vio Templates Sponsored by: gold bola