BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid (tifus
abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.3,4,5
2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan
oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan
tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi.
Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga
macam antigen tersebut.1,4
2.3 Patogenesis
Infeksi S.typhi
terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui
pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan
limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa
sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke
seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak
pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan
dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan
oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus.1,4
2,4 Gejala Klinis
Masa inkubasi Demam tifoid
10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala timbul secara tiba-tiba atau berangsur
angsur. Penderita demam tifoid merasa cepat lelah,
malaise, anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh
tubuh. Pada minggu pertama demam (suhu berkisar 39-400C), nyeri kepala,
pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu kedua demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali,
splenomegali, gangguan kesadaran.
Pada umumnya demam berangsur-angsur naik selama minggu pertama, demam terutama pada sore
hari dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi, kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan
pemberian antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang
disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya
hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak
dan nyeri pada penekanan. Pada permulaan penyakit umumnya terjadi diare,
kemudian menjadi obstipasi.1,4
2.5 Diagnosis
Diagnosis
pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk mendeteksi
adanya bakteri Salmonella spp dalam
darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14 pertama setelah
terinfeksi.6
Selain
itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer
akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal
selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas
1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.7,8
Biakan
tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu
ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella8.
Gambaran
darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari
demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi
lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di
dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini
mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak
selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu
tidak selalu khas seperti di atas. Pada beberapa kasus yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi
obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak
sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah
kuman dan tingkat kekebalan seseorang serta daya tahan tubuh. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna,
bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia.3,6,8,9
2.6 Penatalaksanaan
Management
atau penatalaksanaan secara umum meliputi
managemen medikamentosa, managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam
tifoid. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,
yaitu: 7
1.
Managemen Medikamentosa
- Etiologik
10
Obat-obat pilihan pertama
adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat pilihan
kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah
meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
·
Kloramfenikol
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian,
oral atau intravena, selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun. Pada
keadaan malnutrisi atau penyulit lain diberikan hingga 21 hari. Bilamana
terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol
·
Bilamana terdapat
indikasi kontra pemberian kloramfenikol ampisilin dengan dosis 200
mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat
minum obat, selama 21 hari. Namun efeknya lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol
·
Amoksisilin dengan
dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena
selama 21 hari. Efeknya setara dengan kloramfenikol namun efek penurunan
demamnya lebih lambat.
·
Kotrimoksasol dengan
dosis
TMP 10 mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari yang diberikan
terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
Tabel 1. Persentase pengaruh antibiotik
terhadap S.typhi dan S paratyphi A11
|
||
|
S.typhi
|
S.paratyphi A
|
Ceftriaxon
|
92,6
|
100
|
Kloramfenikol
|
94,1
|
100
|
Tetrasiklin
|
100
|
100
|
Trimetoprim-Sulfametoksazol
|
100
|
100
|
Ciprofloksasin
|
100
|
100
|
Levofloksasin
|
100
|
100
|
·
Pada kasus berat,
dapat diberi sefalosporin generasi 3
Ceftriakson dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dan diberikan 2 kali sehari
selama 5-7 hari, maksimal 4 mg/hari.
Cefotaxim dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari melalui 3-4 kali pemberian.
·
Cefixim merupakan
pilihan alternatif, terutama pada kasus leukosit < 2000/uL dengan pemberian
oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari.
·
Kuinolon baik
diberikan untuk tifoid namun tidak dianjurkan pemberiannya pada anak-anak.
·
Pada kasus yang diduga
mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
Tabel 2 Pola
Resistensi Salmonella typhi pada 61 Biakan Darah Kasus Demam Tifoid Anak
Bagian IKA FKU1/RSCM, 1990-1994.1
|
|||
|
Sensitif (%)
|
Resisten (%)
|
Intermediate (%)
|
Ampisilin
|
96,6
|
3,4
|
0
|
Amoksisilin
|
96
|
2
|
2
|
Kloramfenikol
|
91,8
|
3,3
|
4,9
|
Kotrimoksazol
|
93,2
|
6,8
|
0
|
Seftriakson
|
91,9
|
0
|
8,1
|
Sefotaksim
|
89,6
|
0
|
10,4
|
ciprofloksasin
|
92,3
|
2,6
|
5,1
|
Aztreonam
|
81,8
|
15,2
|
3,0
|
·
Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat
dengan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan
dengan dosis awal 3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan
kali pemberian.10
- Suportif 10
Pireksia dapat di atasi
dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya tidak diberikan
karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan darah
(bradikardi relatif).
Pengobatan
simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai
seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering.
Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan
akibat perdarahan maupun perforasi intestinal. 7
Pengobatan
suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian
cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat
penurunan demam. 7
Demam Tifoid dengan Komplikasi
Sebagai
suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi pada demam tifoid yaitu : 7
a.
Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan
intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
·
Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap
sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka
terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi
darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara
klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika
penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang
melaporkan sampai 80 %. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi
perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
§
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3%
dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat
pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh
perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50%
penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas
diabdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi)
ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam
tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur
(biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit,
dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk
mengobati kuman S. Typhi tetapi juga
untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan aerobik pada flora usus.
Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan
ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta
penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric
tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat
perdarahan intestinal.
b.
Komplikasi ekstra intestinal
§
Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia,
hipofibrino-genemia, peningkatan protombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan
fibrin degradation product sampai
koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapatditemukan pada kebanyakan pasien
demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau
meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga
memiliki peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal
yang sering dikemukakan adalah endotoksinmengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya
mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun
dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi
darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin,
meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada
demam tifoid.
§
Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan
sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak
dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah
hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu
diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu
histopatologik hatti. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak
relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh
karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan
sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati
dapat terjadi.
§
Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam
tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi,
virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase
dan lipase serta USG/CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan
akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti
penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah
antibiotik intravena seperti ceftriakson atau quinolon.
§
Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid
sedangkan kelainan elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15%
penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau
dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang
menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini
disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi
dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang
sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
§
Manifestasi
neuropsikiatrik/tifoid toksik
Manifestasi
neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau
koma, parkinson rigidity/transient
parkinsonism, sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus,
skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis
berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, aatis,
delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaancairan otak masih dalam batas normal.
Sindrom klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid
toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam
tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor
sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan,
iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut
mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis
sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi
kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5
mg.
2.
Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan
haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi,
antara lain : 7,11
- Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
- Tidak mengandung banyak serat.
- Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
- Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan
dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai
kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi
volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah : 12
- Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan
aktivitas
- Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi
total
- Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi
total
- Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
- Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang
sehingga asupan serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan
dengan toleransi perorangan
- Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar
(liat) sesuai dengan toleransi perorangan.
- Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu
manis, terlalu asam dan berbumbu tajam.
- Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada
suhu tidak terlalu panas dan dingin
- Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
- Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam
keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan
formula, atau makanan parenteral.
Diet sisa rendah terbagi dua , yaitu: 12
a.
diet sisa rendah I
diet
sisa rendah I adalah makanan yang diberikan dalam bentuk disaring atau
diblender. Makanan ini menghindari makanan berserat tinggi dan sedang, bumbu
yang tajam, susu, daging berserat kasar (liat), dan membatasi penggunaan gula
dan lemak. Kandungan serat maksimal 4 gram. Diet ini rendah energi dan sebagian
zat gizi. 12
Tabel 1. Bahan Makanan yang Dianjurkan
dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah 1
|
||
Bahan makanan
|
Dianjurkan
|
Tidak Dianjurkan
|
Sumber karbohidrat
|
Bubur saring, roti bakar, kentang
dipure, makaroni, bihun rebus, biskuit, krakers, tepung-tepungan dipuding
atau dibubur
|
Beras tumbuk, beras ketan, roti whole wheat, jagung, ubi, singkong,
talas, cake, tarcis, dodol, tepung-tepungan yang dibuat kue manis.
|
Sumber protein hewani
|
Daging empuk, hati, ayam, ikan giling
halus, telur direbus, ditim, diceplok air atau sebagai campuran dalam makanan
dan minuman
|
Daging berserat kasar, ayam, dan ikan
yang diawet, di goreng kering, telur diceplok, udang dan kerang, susu dan
produk susu.
|
Sumber protein nabati
|
Tahu ditim dan direbus, susu kedelai
|
Kacang-kacangan seperti kacang tanah,
kacang merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai, tempe dan oncom.
|
Sayuran
|
Sari sayuran
|
Sayuran dalam keadaan utuh
|
Buah-buahan
|
Sari buah
|
Buah dalam keadaan utuh
|
Minuman
|
Teh, sirup, kopi encer
|
Teh dan kopi kental, minuman
beralkohol dan mengandung soda
|
Bumbu
|
Garam, vetsin, gula
|
Bawang, cabe, jahe, merica, ketumbar,
cuka dan bumbu lain yang tajam
|
b.
diet sisa rendah II
Diet
sisa rendah II merupakan makanan peralihan dari diet sisa rendah I ke Makanan
biasa. Diet ini diberikan bila penyakit mulai membaik atau bila penyakit
bersifat kronis. Makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Makanan
berserat sedang diperbolehkan dalam jumlah terbatas, sedangkan makanan berserat
tinggi tidak diperebolehkan. Susu diberikan maksimal 2 gelas sehari. Lemak dan
gula diberikan dalam bentuk mudah cerna. Bumbu kecuali cabe, merica dan cuka,
boleh diberikan dalam jumlah terbatas. Kandungan serat diet ini adalah 4-8
gram. 12
Tabel 2. Bahan Makanan yang Dianjurkan
dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah II
|
||
Bahan makanan
|
Dianjurkan
|
Tidak Dianjurkan
|
Sumber karbohidrat
|
Beras dibubur/ditim, roti bakar,
kentang rebus, krakers, tepung-tepungan di bubur atau dipuding
|
Beras tumbuk, beras ketan, roti whole wheat, jagung, ubi, singkong,
talas, cake, tarcis, dodol, tepung-tepungan yang dibuat kue manis.
|
Sumber protein hewani
|
Daging empuk, hati, ayam, ikan
direbus, ditumis, dikukus, diungkep dan di panggang, telur direbus, ditim,
diceplok air atau sebagai campuran dalam makanan dan minuman, susu maksimal 2
gelas perhari.
|
Daging berserat kasar, ayam, dan ikan
yang diawet, telur diceplok dan dadar, daging babi.
|
Sumber protein nabati
|
Tahu ditim direbus, ditumis, pindakan,
susu kedelai
|
Kacang-kacangan seperti kacang tanah,
kacang merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai, tempe dan oncom.
|
Sayuran
|
Sayuran yang berserat rendah dan
sedang, seperti kacang panjang, buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak,
wortel direbus, dikukus dan ditumis.
|
Sayuran yang berserat tinggi seperti
daun singkong, daun katuk, daun pepaya, daun dan buah melinjo, oyong, pare
serta semua sayur yang dimakan mentah
|
Buah-buahan
|
Sari buah; buah segar yang matang
(tanpa kulit dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya,
pisang, jeruk, avokad, nenas
|
Buah yang dimakan dengan kulit,
seperti apel, jambu biji, dan pir serta jeruk yang dimakan dengan kulit ari;
buah yang menimbulkan gas seperti durian dan nangka.
|
Lemak
|
Margaris, mentega dan minyak dalam
jumlah terbatas untuk menumis, mengoles dan setup
|
Minyak untuk menggoreng, lemak hewani,
kelapa dan santan
|
Minuman
|
Teh, kopi encer, sirup
|
Teh dan kopi kental, minuman
beralkohol dan mengandung soda
|
Bumbu
|
Garam, vetsin, gula, cuka, salam,
laos, kunyit, kunci dalam jumlah terbatas.
|
cabe, merica
|
Untuk
kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan
mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan
biasa, dan seterusnya.12
3.
Perawatan Medis
Tirah baring dan perawatan medis (medical care)
bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai7.
Pasien demam tifoid perlu dirawat
dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus
atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien7.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi
tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari
komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi
dan buang air kecil harus diperhatikan
karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.7,9
2.8 Pengidap
Tifoid (Karier)
Kasus
demam tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid. Pada daerah endemik dan hiperendemik
penyandang kuman S.typhi ini jauh
lebih banyak serta sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi rendah semakin
mempersulit usaha penanggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia
sebesar 1.000/100.0000 populasi pertahun, insiden rata-rata 62% di Asia, dan 35
% di Afrika dengan mortalitas rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi karier. Di
antara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20 % diantaranya masih ditemukan
kuman S.typhi setelah 2 bulan dan 10%
masih ditemukan pada bulan ketiga serta 3 % masih ditemukan setelah 1 tahun.
Kasus karier meningkat seiring peningkatan usia dan adanya penyakit kandung
empedu, serta gangguan traktus urinarius.7
a.
Definisi dan Manifestasi Tifoid
Karier
Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang
kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi
setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasus
tifoid dengan kuman S.typhi masih
dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier pasca
penyembuhan. Pada penelitian di Jakarta dilaporkan bahwa 16,18% (N=68) kasus
demam tifoid masih didapatkan kuman S.typhi
pada kultur fesesnya7.
Tifoid karier tidak
menimbulkan gejala klinis (asimptomatis) dan 25%kasus menyangkal adanya riwayat
sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid karier
sering disertai infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan
resiko terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma
pankreas, karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain.
Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi
pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini di duga faktor infeksi
kronis sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma dan bukan akibat infeksi
tifoid akut7.
Proses patofisiologis dan patogenesis kasus tifoid karier
belum jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typhi belum jelas. Imunitas selular diduga punya peran
sangat penting. Hal ini dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell disease dan sistemic
lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila terinfeksi Salmonella maka akan terjadi bakteremia
yang berat. Pada pemeriksaan inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan
terdapat penurunan respons reaktifitas selular terhadap Salmonella typhi, meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas
seluler dan humoral. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna pada sistem imunitas humoral dan selular serta respons limfosit
terhadap S.typhi antara pengidap
tifoid dengan kontrol. Pemeriksaan respons imun berdasarkan serologi antibodi
IgG dan IgM terhadap S.typhi antara
tifoid karier dibanding tifoid akut tidak berbeda bermakna7.
b.
Diagnosis Tifoid Karier
Diagnosis tofoid karier ditegakan atas dasar ditemukannya
kuman S.typhi pada biakan feses
maupun urin pada seseorang tanpa gejala klinis infeksi atau pada seseorang setelah
1 tahun paca-demam tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar bukan sebagai tifoid karier
bila setelah dilakukan biakan secara acak serial minimal 6 kali pemeriksaan
tidak ditemukan kuman S.typhi7.
Sarana lain untuk menegakan diagnosis adalah pemeriksaan
serologi Vi, dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifisitas 92% bila
ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar 160. Nolan CM dkk (1981) meneliti
pengidap tifoid (karier) beserta keluarganya, ditemukan titer 1:40 sampai
1;2560 pada 7 kasus biakan positif S.typhi,
sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S.typhi
negatif, 36 tidak ditemukan antibodi Vi, 1 kasus dengan antibodi Vi positif
1:10. 7
c.
Penatalaksanaan tifoid karier
Kesulitan eradikasi kasus karier berhubungan dengan ada
tidaknya batu empedu dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini
juga meningkat pada seserorang yang terkena infeksi saluran kencing secara
kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan tuberkulosis maupun tumor di traktus
urinarius. Oleh karena itulah insidens tifoid karier meningkat pada wanita
maupun pada usia lanjut karena adanya faktor tersebut di atas. Penatalaksanaan
tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit yang dapat dilihat
pada tabel berikut.7
Tabel 3. Terapi Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid Karier7
|
Tanpa disertai kasus kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan
1.
ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
2.
amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
3.
kotrimoksazol 2 tablet/2kali/hari
|
Disertai kasus Kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut
diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kolesistektomi + salah satu
regimen terapi di bawah ini:
|
Disertai Infeksi Schistoma
Haematobium pada Traktus urinarius
Pengobatan kasus ini harus dilakkan
eradikasi Schistoma Haematobium
|
2.9 Pengobatan Infeksi Campuran Tifoid
a. Tifoid dengan infeksi sendi
Peradangan sendi sering terjadi pada pasien demam tifoid. Meskipun
basil tifoid pada cairan sendi ditemukan pada sedikit kasus, karena hanya
sedikit pencatatan pemeriksaan bakteriologis pada cairan sendi. Penelitian yang
dilakukan Orloff, yaitu menyuntikan S.typhi
pada anjing dan kelinci, menimbulkan pembengkakan sendi dalam 24 jam, dengan
perdarahan pada membran sinovial. Cairan yang keruh, dan keras terbentuk pada
sendi yang selanjutnya menjadi purulen. Terapi yang dapat diberikan pada antara
lain kompres dingin, untuk peradangan masive dapat dilakukan aspirasi cairan
sendi. Bila peradangan sudah berkurang dapat dilakukan terapi pergerakan pasif
(Pasive motion), massage, dan frictions.
Eradikasi tifoid dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti dibahas diatas. 13
b. Tifoid dengan Malaria
Infeksi campuran ini ditegakan bila dari gejala klinis dan
laboratorium didapat khas tifoid dan klinis malaria bersamaan. Juga dari
laboratorium didapat widal reaktif dan ditemukan Plasmodium. Terapi yang
diberikan sesuai dengan terapi masing-masing infeksi. Malaria dapat diobati
dengan Primakuin 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk P.falciparum, sedangkan untuk P.vivax
dengan dosis 15 mg/hari selama 14 hari. Kina dosis yang dianjurkan 3 x
10mg/kgBB selama 7 hari (1 tablet 220 mg), atau dengan preparat kina ataupun
artemisin. Sedangkan untuk tifoid dapat diberikan Ciprofloksasin 500 mg selama
7 – 10 hari.14,15
c. Tifoid dengan Dengue
Pada kasus dengan tifoid disertai dengan trombositopenia dan
IgG dan IgM dengue positif, diberikan terapi antibiotik untuk tifoid. Untuk
infeksi dengue, diberikan cairan yang adekuat dan pemantauan perdarahan yang
terjadi. 16
2.10 Pencegahan
Vaksinasi
dengan menggunakan vaksin T.A.B (mengandung basil tifoid dan paratifoid A dan B
yang dimatikan ) yang diberikan subkutan 2 atau 3 kali pemberian dengan
interval 10 hari merupakan tindakan yang praktis untuk mencegah penularan demam
tifoid Jumlah kasus penyakit itu di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar
358-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Suntikan imunisasi tifoid boleh
dilakukan setiap dua tahun sedangkan vaksin oral diambil setiap lima tahun.
Bagaimanapun, vaksinasi tidak memberikan jaminan perlindungan 100%.7
Mengkonsumsi
air yang telah dimasak. Masak air sekurang-kurangnya lima menit penuh (apabila
air sudah masak, biarkan ia selama lima menit lagi). 7
Bila
sedang dalam perjalanan usahakan menggunakan air botol atau minuman yang telah
terjamin kebersihannya. Makan makanan yang baru dimasak. Jika terpaksa makan di
kedai, pastikan makanan yang dipesan khas dan berada dalam keadaan `berasap’
kerana baru diangkat dari dapur. Tudung semua makanan dan minuman agar tidak
dihinggapi lalat. Letakkan makanan di tempat tinggi. 7
Buah-buahan
hendaklah dikupas dan dibilas sebelum dimakan. Cuci tangan dengan sabun dan air
bersih sebelum menyediakan atau memakan makanan, membuang sampah, memegang
bahan mentah atau setelah buang air besar.7
BAB
III
SIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Simpulan
Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Di era Multi Drug Resisten seperti saat sekarang ini, pilihan pengobatan
haruslah lebih cermat. Penggunaan antibiotik golongan Quinolon merupakan
pilihan utama pengobatan demam tifoid untuk saat ini. Tak hanya dengan
obat-obatan, perawatan medis yang baik dan benar
serta penanganan nutrisi yang tepat juga memiliki peranan penting dalam
penatalaksanaan demam tifoid.
3.2 Saran
Diperlukan
ketepatan dalam mendiagnosa demam tifoid agar tidak terjadi pemakaian
antibiotik yang tidak seharusnya. Pemilihan antibiotik yang adekuat dapat
mengurangi angka terjadinya resistensi. Perlunya kerjasama antara dokter dan paramedis
lain untuk bersama-sama membantu mengobati pasien serta memberikan edukasi yang
tepat kepada pasien dan keluarganya agar dapat membantu proses penyembuhan.
Pencegahan
sangat penting yaitu dengan menjaga higiene lingkungan tempat tinggal dan sekitarnya,
higiene makanan serta tidak buang air besar sembarangan. Tutup rapat makanan
agar tidak dihinggapi lalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar